Nihilisme


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       LATAR BELAKANG
 Dewasa ini -ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, gerakan modernisasi dalam berbagai bidang kehidupan- manusia menjadikan dirinya tidak memerlukan Tuhan, sehingga dalam segala kegiatan mereka tidak memerlukan Tuhan dan norma-Nya. Walaupun mereka nampak sebagai orang-orang yang beradab, moralis dan edukatif, tetapi mereka tidak memiliki norma Allah. Kehidupan mereka akan makin nyata sebagai orang yang sebenarnya tidak beretika, tidak bermoral dan tidak berhukum. Bagaimanapun, pola tindak seseorang akan menunjukkan apakah orang tersebut percaya adanya Allah atau tidak. Keyakinan terhadap keberadaan Allah dengan benar sangat berperan dalam menentukan kualitas moralnya.
Di dunia Barat keyakinan adanya Allah dengan segala eksistensinya ditolak oleh banyak orang atau mereka merasa tidak membutuhkan lagi. Ini sangat ironis sekali, sebab dahulu dari Baratlah zending penginjilan merambah ke negara-negara Asia, sehingga Kekristenan menjangkau banyak negara di Asia. Sekarang keadaannya terbalik. Orang Asia yang giat mencari Tuhan, tetapi sebaliknya orang-orang Barat tidak terlalu memedulikan agama. Negara-negara Barat yang dahulu adalah negara-negara Kristen sekarang menjadi negara sekuler yang tidak atau kurang menghargai nilai-nilai spiritualitas. Rupanya di dunia Barat -khususnya di Eropa- kuasa kegelapan berhasil mengecoh banyak manusia untuk tidak percaya adanya Allah. Dalam hal ini tentu Iblis mengembangkan berbagai teori yang bertujuan menentang keberadaan Allah. Keberhasilan Iblis cukup jelas nampak dengan ditutupnya banyak gereja dan bangunannya berubah fungsi untuk hal lain, seperti café bahkan untuk tempat-tempat yang tidak senonoh.
Nihilisme berasal dari kata nihil yang berarti tidak ada serta isme yang berarti aliran/paham. Dalam bahasa latin nihilism berarti tidak menerima apapun. Istilah umum untuk aliran-aliran filsafat yang menyatakan bahwa pada dirinya sendiri realitas akhirnya tidak mempunyai makna. Sikap yang pada dasarnya ateistik ini dapat mengakui nilai kehidupan dan menemukan makna dengan melaksanakan kehendak sendiri, seperti halnya dengan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Dengan menyatakan bahwa ini suram,  filsafat Albert Camus (1913-1960) dan filsafat beberapa pengikut aliran eksistensiesme menunjukkan adanya unsur-unsur nihilisme.

1.2.       RUMUSAN MASALAH
1)    Apa itu Nihilisme?
2)    Bagaimana awal munculnya Nihilisme?
3)    Apa itu Requiem Aeternam Deo! ?
4)    Kenapa di dalam Nihilisme Tuhan dianggap Mati?
5)    Bagaimana pendapat teologi mengenai Nihilisme?
6)    Bagaimana pendapat kelompok mengenai Nihilisme?


1.3.       TUJUAN PENULISAN
1)    Untuk mengetahui apa itu Nihilisme
2)    Untuk mengetahui bagaimana awal munculnya Nihilisme
3)    Untuk mengetahui apa itu Requiem Aeternam Deo!
4)    Untuk mengetahui kenapa di dalam Nihilisme Tuhan dianggap Mati
5)    Untuk mengetahui bagaimana pendapat teologi mengenai Nihilisme
6)    Untuk memberikan pendapat kelompok mengenai Nihilisme

1.4.       MANFAAT PENULISAN
1)    Agar pembaca mengetahui apa itu Nihilisme?
2)    Agar pembaca mengetahui awal terjadinya Nihilisme?
3)    Agar pembaca mengetahui apa itu Requiem Aeternam Deo! ?
4)    Agar pembaca mengetahui kenapa di dalam Nihilisme Tuhan dianggap Mati?
5)    Agar pembaca mengetahui bagaimana pendapat teologi mengenai Nihilisme?
6)    Agar pembaca mengetahui bagaimana pendapat kelompok kami mengenai Nihilisme?


1.5.       METODE PENULISAN
Metode yang dilakukan dalam penulisan makalah ini adalah Study Literatur dan pencarian materi dari internet
Ø  Pencarian Materi dari Internet
Kami mencari materi dari buku – buku online yang berkaitan dengan materi kami di Internet
Ø  Stady Literatur
Metode ini kami mencari materi dari buku – buku yang kami dapat, dari perpustakaan, maupun meminjam teman. Dan buku – buku tersebut berhubungan dengan materi yang kami bahas

1.6.       SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan bertujuan untuk memudahkan dan memahami penulisan makalah ini, maka kami tuangkan dalam bentuk BAB, yaitu:
            BAB I PENDAHULUAN      : Bab ini membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
            BAB II ISI                               : Bab ini kami mengemukakan Pengertian Nihilisme, Kedatangan Nihilisme, Requiem Aeternam Deo!, Cara Mengatasi Nihilisme, pandangan Teologi Mengenai Nihilisme, dan Pandangan Kelompok Mengenai Nihilisme.
            BAB III KESIMPULAN        : Bab ini kami memaparkan tentang kesimpulan kelompok kami mengenai isi dari makalah ini.
            DAFTAR RUJUKAN : Bab ini kam menuliskan daftar rujukan yang kami pakai dalam penulisan makalah ini


BAB 2
ISI

2.1.               PENGERTIAN
Nihilisme adalah suatu faham atau filsafat yang menganggap manusia hidup itu tanpa tujuan. Ada beberapa pengertian  mengenai Nihilisme.
a.    NIHILISME , berasal dari kata ANNIHLATE yang artinya meniadakan,membasmi, memusnahkan, menghapuskan, melenyapkan, segenap eksistensi.
b.    Dalam kamus Filsafat Nihilisme ,didalam bahasa inggris : nihilism dan dari bahasa latin nihil (tidak ada). Secara harfiah ketiadaan. 
c.    Dan di dalam kamus Teologi karya Gerald O’collins,SJ dan Edward G.Farrugin,SJ Nihilisme diartikan sebagai berikut.
Nihilsm-(lat.’tidak menerima apapun’). Istilah umum untuk aliran – aliran filsafat yang menyatakan bahwa pada dirinya sendiri realitas akhirnya tidak mempunyai makna. Sikap yang pada dasarnya ateistik ini dapat mengakui nilai kehidupan dan menemukan makna dengan melaksankan kehendak sendiri , seperti  halnya dengan Friedrich Nietzsche (1844 – 1900). Dengan menyatakan dunia ini suram, filsafat Albert Camus (1913 – 1960) dan filsafat beberapa pengikut aliran eksistensialis menunjukan adanya unsur – unsur nihilisme.
Nihilisme ini menyangkal keabsahan alternatif positif mana pun. Istilah ini sudah diterapkan pada metafisika, epistemologi, etika, poitik, dan teologi. Istilah tersebut diciptakan oleh Ivan Turgeniev dalam novel Fathers and children (1862) untuk menunjuk suatu gerakan dirusia pada paruh kedua abad ke 19 . gerakan ini menuntut perubahan secara tak terencana dan yang , pada puncaknya, membantai sejumlah pejabat rusia, termasuk Tsar Alexander II sendiri.
Dadalam kamus filsafat karya Lorens Bagus Pengertian Nihilisme dirinci sebagai berikut:
1.    Penyangkalan mutlak. Dalam konteks ini nihilisme berarti titik pandang yang menolak ideal positif manapun
2.    Dalam epistemologi, penyangkalan terhadap setiap dasar kebenaran yang objektif dan real.
3.    Teori bahwa tidak ada yang tidak dapat diketahui.  Semua pengetahuan adalah ilusi, tidak bermanfaat, tidak berarti, relatif (nisbi), dan tidak bermakna
4.    Tidak ada pengetahuan yang mungkin
5.    Keadaan psikologis dan filosofis di mana tidak ada nilai etis, religius, politis, sosial.
6.    Penyangkalan skeptis terhadap semua yang dianggap real/tidak real, pengetahuan/kekliruan, ada/tiada, ilusi/nonilusi; penyangkalan terhadap nilai dari semua pembedaan.
Dari beberapa pengertian diatas Nihilisme dapat diartiakan sebagai kekosongan, hidup tanpa arti, hidup tanpa tujuan, penyangkaan terhadap segala sesuatu (penyangkaan mutlak). Dalam hal ini Nihilisme juga menyangkal akan keberadaan Tuhan. Menyangkal eksistensianya, menyangkal bahwa Tuhan itu ada dan menganggap bahwa Tuhan Telah Mati.

Nihilisme ini sendiri sebenarnya adalah bentuk sejati dari ateisme sejati. Seperti yang dikatakn Tom Jacobs SJ dalam bukunya yang berjudul PAHAM ALLAH. “....Orang hidup dalam kebudayaan ‘Fast-Food’, dimana semua menjadi ‘Instant’ dan orang tidak punya waktu lagi untuk pertanyaan mengenai arti dan dan tujuan hidup. Ini yang disebut Nihilisme. Orang orang tidak percaya apa – apa lagi, tetapi juga tidak memperjuang apa – apa lagi. Inilah ateisme yang sejati: tuhan didiamkan, tidak berarti lagi....” (PAHAM ALLAH.hal 52).
Adapun beberapa pandangan filsuf mengenai Nihilisme.
1.    Nihilisme metafisis dan epistemologis dapat dikaitkan dengan doktrin georgias bahwa “tiada bereksistensi” ; kalaupun ia bereksistensi juga, ia tak dapat diketahui; kalaupun ia dikeahui juga, ia tidak dapat dikomunikasikan
Contoh nihilisme epistemologis paling baik adalah bentuk ekstrem skeptisisme yang bernama pyrrhonisme. Pyrrho memeuk ajaran bahwa tidak ada pengetahuan yang mungkin
2.    Nihilisme Etis adalah ajaran bahwa semua putusan nilai telah kehilangan kesasihannya. Etika pesimisme Schopenhauer dekat dengan ajaran ini, kendati nilai “renunsiasi” (penyangkalan diri) tetap positif bagi Schopenhauer, dan memberikan jawaban parsial terhadap problem kehidupan.
3.    Nietsche mengganggap nihilisme moral dengan negasinya terhadap kehidupan sebagai akibat kebobrokan Eropa dan hilangnya nilai – nilai luhur. Alternatifnya Nietzsche sendiri dengan tranvaluasi nilai-nilainya dimaksudkan, setidaknya sebagian. Untuk memerangi nihilisme macam in.
4.    Nihilisme politik adalah ajaran bahwa penghancuran tata politik dan sosial warisan bernilai positif dan mempunyai tujuannya sendiri. Bakunin memberikan dukungan filosofil terhadap alternatif ini, seraya berpendapat bahwa perbuatan penghancuran itu sendiri bersifat kreatif. Camus, di sisi lain, memandang nihilisme politik terletak diluar kerangka perilaku yang diperbolehkan.
5.    Nihilisme teologi paing baik digambarkan oleh gerakan “Allah Mati” dalam teologi amerika. Bagi kelompok teolog ini konsep alah telah kehilangan keabsahannya, dan mereka mencari orientasi, dengan meneruskan ibadat mereka, kendati dengan suatu kekosongan dimana sebelumnya mereka mengakui allah.

2.2.               KEDATANGAN NIHILISME
Dalam buku kempulan aforismenya, Der Wille zur Macht, Nietzsche membuka tulisannya dengan gagasan tentang nihilisme. Dia meramalkan terjadinya bahaya-bahaya dari segala bahaya, yaitu nihilisme. Dalam karya-karyanya tema ini tidaklah baru. Semangat nihilistik sudah dapat ditemukan secara amat jelas sejak dalam karyanya, Die Frohliche Wissenschaft (1882). Dengan tema ini ia mau menunjukkan bahwa apa saja yang dulu dianggap bernilai dan bermakna kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Kirsis ini akan berlangsung terus-menerus secara tak terelakkan.
Renungan tentang nihilisme pada intinya adalah sebuah renungan tentang krisis kebudayaan, khususnya kebudayaan Eropa sebagaimana disaksikan oleh Nietzsche yang hidup pada akhir abad lalu. Nietzsche melukiskan bahwa gerak kebudayaan Eropa pada waktu itu bagaikan aliran sungai yang menggeliat kuat saat mendekati bibir samudra. Metafor ini ditujukan pada orang-orang Eropa yang “ tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenung.” Inilah satu dari ratusan tanda dari datangnya nihilisme. Jadi apa yang dikatakan Nietzsche tentang nihilisme adalah semacam insight tentang apa yang hendak terjadi pada zaman sesudahnya sebagaimana termakrub dalam eforismenya yang pertama:
“Apa yang aku kisahkan adalah sejarah dua abad yang akan dating. Aku melukiskan apa yang akan terjadi, apa yang tak mungkin datang secara lain : kedatangan nihilisme. Sejarah nihilisme ini bahkan dapat dikisahkan dari saat karena kepastiannya sudah terlihat di saat ini. Masa depan dari nihilisme sudah berbicara pada saat sekarang ini dengan ratusan tanda-tanda; tanda-tanda akan datangnya nihilisme ini mencuat dimana-mana. Semua gendang telinga sekarang ini sudah digetarkan oleh musik masa depan itu. … Kebudayaan Eropa kita sedang bergerak menuju suatu malapetaka, dengan tekanan yang tercabik yang meningkat dari tahun ke tahun, dengan gerakan-gerakan penuh kegelisahan, kekerasan dan … bagaikan aliran sungai yang sedang hendak mencapai lautan, yang tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenungkan.”
Di samping merupakan hasil perkembangan sejarah sebelumnya, nihilisme juga dapat dikatakan merupakan akibat timbulnya pemikiran-pemikiran Nietzsche yang menghantam sisa-sisa pemikiran dan kepercayaan sebelumnya. Dalam arti yang kedua ini, Nietzsche harus dipandang sebagai tokoh yang mempercepat proses nihilisme secara radikal. Namun, dia pulalah yang akhirnya datang membawa pelita bagi semua orang. Dialah yang berani mengatakan “Ya” pada nihilisme dan sekaligus mengatasinya.
Nihilisme sebagai runtuhnya nilai dan makna meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruh bidang ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu keagamaan (termasuk moral) dan ilmu pengetahuan. Runtuhnya dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk memahami dunia dan hidupnya. Singkatnya, nihilisme mengantarkan manusia pada situasi krisis atau kepada hari yang menjadi “malam terus-menerus” karena seluruh kepastian hidupnya runtuh.
Nietzsche memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak: “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya.” (Got ist tot! Got bleibt tot! und wir haben ihn getotet!). Ucapan yang kemudian menjadi termashyur ini dipakai Nietzsche untuk mengawali perang melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang sudah mulai pudar. Jaminan kepastian yang pertama adalah Tuhan sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen. Dan jaminan-jaminan kepastian lainnya, menurut Nietzsche, adlah model-model Tuhan seperti ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan (progress). Untuk merumuskan runtuhnya dua macam jaminan kepastian itu, Nietzsche cukup mengatakannya dengan kalimat “Tuhan sudah mati”. Dengan kata lain, paradigma seluruh kirsis adalah “Tuhan sudah mati.”

2.3.               REQUIEM AETERNAM DEO!
Ungkapan Requiem Aeternam adalah ungkapan yang diucapkan untuk menghormati dan mendoakan orang yang meninggal dunia. Ungkapan ini kira-kira berarti: semoga engkau beristirahat dalam kedamaian abadi. Nietzsche mengganti ungkapan itu menjadi Requiem Aeternam Deo! Ini lalu berarti: “Semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi.” Inilah salah satu ungkapan yang termashyur dalam sebuah aforisme Nietzsche dimana dia berseru: “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya!”
Ungkapan Nietzsche yang terkenal ini dapat kita temukan dalam bukunya yang mulai ditulis di Genoa (1880), yaitu Die Frohliche Wissenschaft. Dengan gaya bahasa yang indah dan penuh metafora, ia memaklumkan bahwa Tuhan sudah dibunuh dan secara beramai-ramai sudah dikuburkan. Rumusan yang kita temukan dalam aforisme yang berjudul “Orang Gila” (Der tolle Mensch, The Madman), masih akan diulang berkali-kali dalam karya Nietzsche dengan mengutip seluruh aforismenya yang berjudul “Orang Gila”.
Tidakkah kau dengan orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia berlari-lari menju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak: ‘Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!’ Ketika orang banyak yang tidak percaya pada Tuhan datang mengerumuninya, orang gila itu mengundang banyak gelak tawa. ‘Apakah dia ini orang yang hilang?’, tanya seorang. Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Apakah dia baru saja mengadakanpelayaran? Apakah dia seorang perantau? Demikianlah, mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan padangan yang tajam. ‘Mana Tuhan!’, serunya.’Aku hendak berkata pada kalian. Kita telah membunuh Tuhan—kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini? Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan pengahpus kepada kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan bumi ini dari mataharinya ? lalu kemana bumi ini akan bergerak? Kemana kita bergerak? Menjauhi seluruh matahari? Tidakkah kita jatuh terus-menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah malam yang terus-menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lentera pun dinyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Ya, para Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!
Bagaimanakah kita—pembunuh para pembunuh—merasa terhibur? Dia yang mahakudus dan mahakuasayang dimiliki oleh dunia kini telah mati kehabisan darah karena pisau-pisau kita—siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari kita? Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita? Perayaan tibat apa, pertunjukkan kudus apa, yang harus kita adakan? Bukankah kedahsyatan tindakan ini terlalu dahsyat bagi kita?Tidakkah kita harus menjadikan diri kita senidiri sebagi Tuhan dan supaya tindakan itu kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar, dan siapa saja yang lahir setelah kita—demi tindakan ini—akan termasuk ke dalam sejarah yang lebih besar daripada seluruh sejarah sampai sekarang ini!
Sampai disini, orang gila itu lau diam dan kembali memandang para pendengarnya; dan mereka pun diam dengan keheran-heranan memelototinya. Akhirny6a, orang gila membuang pelitanya ke tanah dan pelita itu hancur, kemudian padam. ‘Aku datang terlalu awal’, katanya kemudian. ‘Waktuku belum tiba. Peristiwa yang dahsyat ini masih terus berjalan, masih terus berkeliaran dan belum sampai pada telinga orang-orang. Kilat dan guntur memerlukan awktu, cahaya bintang-bintang memerlukan waktu; tindakan, meskipun sudah dilakukan, masih memerlukan waktu untuk dapat dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka daripada bintang-bintang yang paling jauh—namun mereka sudah melakukannya untuk diri mereka sendiri.’
Masih diceritakan lagi bahwaa pada hari yang sama orang gila itu nbekat masuk ke dalam berbagai gereja dan disana menyanyikan lagi Requiem Aeternam Deo [istirahat kekal bagi Tuhan]. Setelah keluar dan diminta pertanggungjawabkan, dia hanya selalu menangkis dan berkata, ‘Apalagi gereja-gereja ini kalau bukan makam-makam dan nisan-nisan bagi Tuhan?.
Inilah kisah panjang bagaimana Nietzsche harus memaklumkan kematian Tuhan kepada khalayak orang-orang yang masih menggenggam keyakinan mereka akan Tuhan. Tepatlah jika Nietzsche memberi judul aforisme ini dengan Orang Gila. Kegilaan ini tidak hanya terasa dari kontras  antara sikap Nietzsche dengan khalayak. Kegilaan juga tampak dalam kontras sikap baru Nietzsche sang pembunuh Tuhan dan sikap lama Nietzsche sang calon pendeta yang sangat religius. Orang yang membunuh Tuhan ini adalah orang yang pada masa remajanya pernah berlutut penuh khidmat di depan altar untuk menerima sarkamen-sarkamen  dari Gereja. Salah satu perilaku saleh Nietzsche dilukiskan oleh seorang sahabatnya:
Ketika para calon penerima sakramen penguatan menuju altar dengan berjalan berdua-dua, dan berlutut di depan altar, Nietzsche juga berlutut. Sebagai sahabat karibnya, aku berlutut bersam-sama dengannya. Aku ingat betul suasana kekudusan dan rasa lepas bebas dari dunia yang meliputi kami sebelum dan sesudah sakramen penguatan. Kami seolah sudah benar-benar disiapkan disana dan kemudian mati agar dapat bersatu dengan Kristus. Semua pikrian, perasaan dan kegiatan kami terasa lebih bersinar-sinar daripada keceriaan duniawi. Ini semua tentu saja sebuah luapan artifisial yang tidak bisa bertahan sangat lama.
Dengan mengidentifikasikan diri sebagai seorang gila, Nietzsche mau menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan apa yang dulu dianggap mapan, biasa, dan wajar, termasuk yang pernah dialaminya sendiri. Semua makna dan nilai yang mencirikan “kewarasan” kini sudah roboh seluruhnya. Dimata orang-orang yang belum memahami situasi ini, pembawa berita tentang keruntuhan seluruh nilai tidak lebih daripada “orang gila”, anak kecil yang tersesat, orang yang ketakutan atau orang mabuk karena baru saja mengadakan pelayaran.
Dengan berseru “Tuhan sudah mati”, Nietzsche pertama-tama tidak bermaksud mau membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Bahwa Tuhan tidak ada bagi Nietzsche merupakan “kebenaran” yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Seruan ini lebih menunjuk pada Tuhan yang dulupernah dibiarkan hidup, kini secara beramai-ramai sudah mulai dikuburkan banyak orang, bahkan kini sudah memulai membusuk. Bahwa Tuhan dulu pernah hidup bisa dimakluminya. Orang-orang sebelum Nietzsche masih membiarkan Tuhan hidup karena mereka memang belum cukup kuat untuk membunuhnya. Pembuktian mengenai “pembuktian”, “Tuhan itu ada” atau “Tuhan itu tidak ada”, bukanlah cara berbicara Nietzsche. Ini adalah cara berbiacar para metafisi yang hanya bersandar pada prinsip-prinsip logika saja. sedang Nietzsche dalam prinsip nihilismenya juga menolak keabsahan logika itu. Dengan kata lain, Nietzsche menolak baik isi maupun cara berbicara kaum metafisi.
Dengan matinya Tuhan, kini orang seolah “merasa menghirup udara kosong (der leere Raum)” dan seluruh cakrawala dihapuskan. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran Tuhan dalam perjalanan sejarah sebelum Nietzsche. Sejak zaman Yunani sampai Renaissance, manusia dibayang-bayangi oleh jaminan absolut, Tuhan untuk, memberikan makna dan nilai bagi dunia dan hidupnya. Orang mengira bhwa jaminan absolut itu memang benar-benar ada. Pudarnya Tuhan selalu diikuti reformasi supaya Tuhan tetap hidup. Para tokoh reformasi ini, menurut Nietzsche anatar lain meliputi Phytagoras, Plato, Empedokles, dan Luther. Namun, semua reformasi yang mereka lakukan akhirnya gagal. Proses kematian Tuhan tak dapat dielakkan. Karena jaminan absolut sudah kehabisan darah, maka nilai-nilai yang dituarunkan dari padanya pun runtuh. Terjadilah proses nihilisme.
Nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai merupakan keadaan yang normal dan akibat yang harus terjadinya. Nihilisme adlah hasil yang tak terelakkan dari seluruh gerak sejarah sebelumnya yang diresapi gagasan-gagasan ketuhanan. Dalam gerak seajarh ini, roh manusia semakin kuat. Dan bersamaan dengan itu, Tuhan yang pernah diakui sebagai tujuan dan dasar bagi dunia dan hidup manusia semakin pudar. Sia-sialah setiap usaha untuk menghidupkannya kembali. Usaha-usaha itu justru menimbulkan berbagai konflik dan situasi yang menyulitkan dan akhirnya malah mempercepat proses nihilisme. Situasi nihilistik ini dilukiskan Nietzsche sebagai bumi yang kehilangan matahari: bumi kehingan orientasi, tidak tahu lagi harus berpusat mengelilingi apa,  tidak ada lagi atas dan bawah. Karena keadaan ini berada di luar kekuasaan manusia perorangan, maka dapat dikatakan bahwa nihilisme lebih merupakan semangat zaman daripada suatu doktrin atau sikap para filsuf secara individual.
Sepintas gagasan Nietzsche tentang pudarnya Tuhan ini mirip dengan pemikiran August Comte (1798-1857). Tokoh positivistik asala Perancis ini membagi perkembangan sejarah menjadi tiga tingaktan atau zaman: teologis atau mitologis, metafisik, dan positivistik. Dalam teologis atau mitologis, orang masih percaya pada kekuatan adikodrati (Tuhan) sebagai penyebab segala peristiwa fenomenal yang kita hadapi. Pada tahap kedua, peran Tuhan diganti dengan metafisik yang bersifat abstrak; misalnya substansi dan kodrat. Pada tahap positivistik, orang meninggalkan baik kekuatan-kekuatan adikodrati maupun konsep-konsep metafisik, kemudian membatasi diri hanya pada fakta yang disuguhkan (positus0 dan dihadapinya. Tetapi Nietzsche masih menolak gagasan Comte yang seolah-olah berhasil memudarkan Tuhan. Apa kata Nietzsche tentang Comte? “Comte … ingin mengantar orang-orang Perancis ke Roma melalui jalan ilmu pengetahuan!”. Dengan kata kalin, VComte secara tidak sadar telah menciptakan agama baru bagi dirinya dan bangsanya dengan jelas memutlakkan ilmu pengetahuan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam arti smepit, matinya Tuhan menunjuk pada runtuhnya jaminan absolut, yaitu Tuhan, yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hdup manusia. Nietzsche menyebut situasi ini sebagai nihilisme. Namun, lebih dari itu, ia sebenarnya mengartikan kata “Tuhan” lebih luas daripada pengertian sebagaimana dipahami orang-orang yang termasuk zaman-teologisnya Comte. Bagi Nietzsche, “Tuhan” hanyalah suatu model untuk menunjuk setiap bentuk jaminan kepasstian untuk hidup 9dan manusia. Karena itu, sekalipun orang sudah membunuh Tuhan, orang belum tentu menghidupkan tuhan-tuhan lainnya. Di bawah ini kita akan meneliti lebih lanjut bagaimana Nietzsche berusaha “membunuh” semua Tuhan.

2.4.               TUHAN TUHAN SUDAH MATI
Nietzsche meramalkan bahwa gerak sejarah akan mengarah pada suatu bentuk nihilisme yang radikal. Nihilisme ini tidak hanya berbunyi “Tuhan sudah mati” tetapi juga “tuhan-tuhan sudah mati”. Kalau dirumuskan dengan gagasan Nietzsche sendiri, nihilisme ini berbunyi demikian:
Nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat dipertahankan lagi, bila hal itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui manusia; dan ditambah lagi dengan pemahaman bahwa kita tidak lagi mempunyai hak sedikitpun untuk menyatakan ciri di seberang (Jenseits) dan pada dirinya (an sich) dari segala sesuatu seolah-olah bersifat “Ilahi” atau merupakan moral yang menjelma.
Nietzsche melihat bahwa banyak pemikir, sekalipun sudah membunuh Tuhan atau menolak suatu nilai absolut di luar dirinya, masih mencari model-model tuhan lain yang dapat menjamin dunia dan hidupnya. Para tuhan yang baru ini misalnya berupa ide, kesadaran, rasio, kepastian akan kemajuan (progress), kesejahteraan umum, kebudayaan dan sebagainya. Semuanya ini adalah pulau-pulau baru bagi orang ynag takut berlayar, setelah benuanya dihancurkan oleh samudra.
Semangat menciptakan model-model tuhan merupakan warisan dari kebiasaan zaman sebelumnya. Orang sudah begitu terbiasa hidup dalam suasana dimana “tujuan harus dipasang, diberikan, dan dituntut dari luar oleh suatu kekuasaan adikodrati”.  Sekalipun orang sudah melepaskan kekuasaan adikodrati itu, orang masih saja melanjutkan kebiasaan lam. Orang masih mencari otoritas lain yang dapat berbicara tanpa syarat dan mendiktekan sejumlah tujuan dan tugas-tugas. Orang tidak tahan berada di tengah-tengahsamdura yang tak ada satu pulau pun juga! Orang menuhankan suara hati, rasio, naluri sosial, dan sejarah.
Ketidakberdayaan orang melepaskan kebiasaan di atas disebabkan oleh gerak sejarah yang sudah dibelenggu oleh polusi moral Kristen. Hal ini dapat dilihat pada empat hal pertama yang dihasilkan moral Kristen selama ini. Pertama, moral Kristen  memberikan nilai absolut bagi manuasia sebagai jaminan bagi dirinya yang merasa kecil dan tidak berarti. Kedua, moral Kristen berlaku sebagi perintah-perintah Tuhan di dunia. Ketiga, moral Kristen menanamkan pengetahuan akan nilai-nilai absolut untuk memahami apa yang dianggap paling penting. Keempat, moral Kristen berperan sebagai sarana pemeliharaan bagi manusia. Keempat hal ini membuat manusia menjadi sedemikian pasti dan aman akan hidupnya sehingga sulit melepaskannya.;
Di samping August Comte seperti sudah disinggung di atas J. J. Rousseau (1712-1778) adalah contoh lain yang secara tersembunyi masih berpegang pada semngat yang diwariskan moral Kristen. Filsuf Perancis yang terkenal dengan semboyan Retournons di la nature (marilah kita kembali pada alam) ini dinilai Nietzsche masih penakut. Konsepnya tentang “alam” terasa lembek dan takut-takut (der weichiche und feige begriff). Rousseau mengajak kita kembali ke alam karena alam seolah-olah menjanjikan kebebasan, kebaikan, keadilan, dan keindahan. Dia sudah berani masuk kapal, tetapi takut menghancurkan jembatan yang menuju kapal.
Singkatnya menurut Nietzsche, manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai. Dan ia menunjukkan bagaimana harus melakukannya tanpa bercita-cita menciptakan tuhan-tuhan baru. Keadaan dimana para tuhan sudah mati ini dapat dilihat dalam slah satu aforisme yang berjudul “Dalam Horizon Ketidakterbatasan (Im Horizont des Unendlicdem)”.
Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita!—dan lagi, kita sudah menghanguskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil! Samudra raya mengelilingimu. Memang benar dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang dia tampak lembut bagikan suter, emas, dan mimpi yang indah. Namun, akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tidak terbatas. Oh, burung yang malang yang merasa bebas dan kini menabrak dinding-dinding sarangnya! Ya, bila kau merasa rindu akan daratanmu (Land-Heimweh) yang seolah menawarkan kebebasan lebih banyak—dan tak ada daratan lagi.

2.5.               CARA MENGATASI NIHILISME
Kalau nihilisme merupakan perkembangan yang harus terjadi, maka persoalan yang segera muncul dan harus terjawab adalah: Apa yang harus dilakukan manusia? Atau kita membiarkan keadaan itu berlangsung terus begitu sehingga kita dibayang-bayangi krisis terus-menerus?
Nietzsche menolak sikap diam dalam menghadapi nihilisme. Sikap diam bukanlah netral. Dalam hal ini memang tidak ada sikap netral. Sikap diam berarti mebiarkan diri didikte oleh keadaan nihilstik atau krisis terus-menerus. Sikap ini akan mengantar manusia  ke dalam situasi  dekaden yang tak tertahankan. Dekaden adlah sikap tak berani berkata “Ya” pada hidup. Kalau situasi ini dibiarkan terjadi terus- menerus, maka nihilisme kita adalah nihilisme pasif. Nihilisme ini diwarnai dengan lembeknya dan pesimisnya manusia yang seolah-olah terus menerus menghirup parfum wanita. Manusia tahu bahwa tuhan dan para dewa sudah mati, tapi manusia tak dapat berbuat lain kecuali menyembah mayat-mayat yang disemprot wewangian terus-menerus!
Alternatif yang diajukan Nietzsche adlah sikap tidak tinggal diam, yaitu mengatasi nihilisme tanpa harus menolak nihilisme. Usaha ini dilakukan dengan mengadakan pembalikan nilai-nilai. Cara ini akan menghasilkan nihilisme aktif. Dilihat dari sudut ini, filsafat Nietzsche dapat disebut sebagi filsafat nihilisme, dan Nietzsche adlah seorang nihilis sejati.
Apa yang dimaksud dengan “tanpa harus menolak nihilisme”? Kalau nihilisme berarti runtuhnya nilai-nilai dan makna-makna tertinggi, tidak menolak nihilisme berarti membiarkan nilai-nilai dan makna-makna tertinggi runtuh. Dengan kata lain, Nietzsche tetap menolak setiap bentuk model tuhan, yang melaluinya orang mendapat jaminan untuk memahami dirinya dan dunianya. Ia juga tidak bermaksud mencari pengganti dalam bentuk apapaun. Nietzsche mengakui bahwa segala sesuatu itu khaos. Tak ada suatu pun yang benar, maka segalanya diperbolehkan (Nicht its wahr is erlaubt).
   Apa yang dimaksud dengan “mengadakan pembalikan nilai-nilai”? Nietzsche bermaksud mengadakan penilaian kembali seluruh “nilai-nilai” yang sudah ada sampai sekarang, yang cenderung memfosil menjadi karang. Dengan cari ini Nietzsche pertam-tama tidak mau mencari nilai-nilai itu sendiri. Semangat mau mencari nilai-nilai adlaah kebiasaan kuno, warisan agama Kristen yang harus ditinggalkan. Nietzsche lebih suka mencari cara untuk dapat berkata “Ya” pada dunia yang adalah khaos dan nihil, yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral. Nietzsche tidak mau meberi pulau atau daratan yang dapat dipakai sebagai tempat tinggal yang aman. Dia mau mencari sampan kecil untuk mengarungi samudra raya supaya dapat menikmati ketakterbatasan dan geloranya. Hanya dengan sampan kecil ini orang dapat mengarungi samudra.
Dalam usaha merevaluasi seluruh nila, Nietzsche memangdang nilai tidak lebih dari pada titik berangkat dari suatu pengembaraan. Kita kadang-kadang memerlukan nilai-nilai bar, namun kadang-kadang pula kita harus melepaskan nilai-nilai yang sudah kita punyai. Demikian pula sika Nioetzsche pada kebenaran. Tidak ada kebenaran absolut. Kebenaran adalah semacam kekeliruan yang tanpanya kita tidak dapat hidup. Kalau mutu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, manusioa harus meninggalkannya. Kalau sampan kita sudah tua dan tak dapat digunakan berlayar lagi, sampan itu harus dihancurkan dan diganti dengan sampan baru. Menurut Nietzsche, hanya dengan semangat inilah kita dapat menikmati nihilisme. Dan inilah nihilisme aktif.

2.6.               PANDANGAN TEOLOGI MENGENAI NIHILISME
Seorang filsuf terkenal 2 abad yang lalu pernah berkata manusia terkutuk oleh karena kebebasannya. Ia harus mengupayakan kesejahteraan dirinya sendiri. Ungkapan ateistik ini sebagai konsekuensi penolakan kepada kebergantungan mutlak kepada Allah, Sang Khalik yang dipercayai oleh kekristenan. Hal ini senada dengan Pengkhotbah, yang menyatakan kesia-siaan untuk segala hal yang dilakukan di bawah matahari tanpa memperhitungkan Tuhan sama sekali. Ini yang disebut nihilisme!
Apa yang dialami oleh Israel karena penolakannya terhadap Tuhan mereka adalah nihilisme. Mereka sedang membinasakan diri mereka sendiri karena menolak Allah, Pencipta dan Pemilik hidup, sumber satu-satunya untuk kehidupan di bawah kolong langit ini (Hosea 8:14a). Bagaimana mereka menolak Allah? Mereka melanggar Perjanjian Sinai yang mengikatkan mereka dengan Allah untuk beribadah kepada Tuhan dan berperilaku sebagai umat-Nya (Hosea 8:8). Mereka menolak kepemimpinan Allah dengan mengangkat raja manusia atas mereka (Hosea 8:4a; 1Sam. 8:7). Mereka membuat dan menyembah berhala (Hosea 8:4b) serta menolak firman Allah (Hosea 8:12). Bagi Israel penolakan itu berakibat kehancuran mereka yang tidak dapat dielakkan! Penolakan mereka berakibat penolakan Allah atas mereka. Tuhan menolak ibadah mereka yang hakikatnya penyembahan berhala (Hosea 8: 4-6,11-13). Tuhan menggagalkan usaha mereka menyejahterakan diri mereka sendiri (Hosea 8:7), serta usaha mereka membangun keamanan negeri mereka (Hosea 8:8-10,14).
Orang bebal berkata dalam hatinya, "Tidak ada Allah" (Mzm. 53:2). Pernyataan pemazmur itu memang tepat. Menolak Allah berarti menghancurkan diri sendiri, nihilisme! Sebaliknya, menerima Allah berarti menundukkan diri sepenuhnya kepada Allah yang berdaulat penuh atas segala aspek kehidupan kita. Mari, kita yang mengaku Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan kita, mengevaluasi diri kita. Adakah hal-hal yang ternyata merupakan wujud penolakan kita atas kedaulatan-Nya dalam hidup ini? Akui, dan lepaskan semua itu demi ketaatan mutlak kita pada Tuhan!

2.7.               PANDANGAN KELOMPOK MENGENAI NIHILISME
Menurut kelompok kami Nihilisme itu adalah subuah faham filsafat yang mengartikan bahwa segala sesuatu itu kosong dan tidak berarti. Dengan kata lain nihilisme menganggap manusia hidup itu tanpa tujuan dan nihilisme juga menganggap “Tuhan telah Mati”. Dalam hal ini keompok kami menganggap hal ini adalah sebuah kesalahan. Karna seperti ada tertulis “sebab aku mengetahui rancangan – rancangan apa yang ada pada-ku mengenai kamu...” yeremia 29:11. Dari ayat ini dapatr diketahui bahwa pada dasarnya tuan memiiki rencana untuk kita. hal ini lah yang menjadi tujuan kita yaitu melaksankan rencananya agar kita mendapatkan janjinya “...rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”yeremia 29:11. Dari sini kita mengetahui bahwa kita hidup bukan tanpa alasan, kita hidup bukan secara kebetulan dan tanpa tujuan, melainkan kia hidup karna tuhan telah merencanakan segala sesuatunya terhadap kita, dia telah memberikan kita tujuan, tapi tuhan juga memberi kita kebebasan, untuk mengikuti rencananya atau tidak. Dan jika kita mengikuti rencananya yang agung dan besar, kita akan mendapatkan damai sejahtera, sukacita, kebahagiaan, dan masa depan yang penuh harapan sesuai apa yang ia janjikan.
Dan kelompok kami juga menentang sebuah pernyataan bahwa “Tuhan Telah Mati”. Tentu pernyataan ini sangat salah seperti ada tertulis dalam AYUB 1 : 6 “pada suatu hari datanglah anak – anak Allah menghadap TUHAN...” dalam ayat ini dapat diketahui bahwa TUHAN memang ada, dan juga bahkan Tuhan sendiri datang kedunia ini sebagai anak manusia , yang kita sebut sebagai Tuhan Yesus Kristus “...bapa di dalam aku dan aku di dalam bapa” yohanes 5:38, “...apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak.” Matius 26:63, “Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi, aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat anak manusia duduk disebelah kanan yang mahakuasa dan datang diatas awan-awan dilangit.” Matius 26:64, “ Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama – sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” yohanes 1:1, “ itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaanya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepadanya sebagai anak tunggal bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” Yohanes 1:14. Dari beberapa ayat di atas kelompok kami dengan yakin mengatakan bahwa Nihilisme (Tuhan Telah Mati) itu salah. Karna dia adalah Allah yang hidup, dia ada dan berkuasa, penuh dengan kemuliaan. Dia ada sebelum bumi ada dan dia kekal selamanya, “aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Terkemudian, Yang Awal dan Akhir.” Wahyu 22:13. Hal ini membuktikan bahwa Tuhan benar benar ada.
Karna itu kelompok kami memiliki pendapat bahwa Nihilisme ini adalah ancaman bagi orang percaya, karna seperti yang kita ketahui bahwa begitu pesatnya kemajuan teknologi di bumi ini yang membuat keimanan seseorang itu mulai memudar terhadap Tuhan, karna menganggap bahwa dia mampu melakukan segala hal tanpa Tuhan disampingnya,ini akan menjadikan seseorang menjadi ateis dan pada akhirnya dia akan menjadi orang – orang Nihilisme. Hal ini cukup menakutkan, bagaimana seseorang yang percaya, akan berbalik, berpaling, dan menyangkal Tuhan, menyangkal keberadaannya. Siapakah kita, berani menyangkal dia, dia yang mahakuasa. Bukankah ini sangat ironi sekali bagi kita orang percaya. Karna itu kita harus waspada terhadap nihilisme, jangan sampai hali ini terjadi pada kita, pada orang terdekat kita, keluaraga kita, teman kita, bahkan orang disekitar kita. karna Nihilisme ini akan membuat kita maupun orang disekitar kita yang menganut faham ini akan hidup tanpa tujuan, hidup penuh kehampaan. Karna itu kita perlu waspada dan jika ada orang disekitar kita menganut faham ini, filsafat ini, sadarkan, bawa dia kembali kepada TUHAN yang maha kuasa.



BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian ISI dari makalah diatas kami dapat menyimpulkan :
1.    Nihilisme adalah suatu Faham/Filsafat yang menganggap segala sesuatu itu kosong. Bahkan tuhan juga dianggap tidak ada.
2.    Nihilisme tidak hanya tentang Teologi tetapi lebih luas lagi.
3.    Nihilisme ini sering dikaitkan dengan Nietsche dan kerusakan moral di eropa
4.    Nihilisme telah lama ada bahkan tercatat dalam alkitab namun Istilah nihilisme baru diperkenalkan pada tahun 1882 oleh Ivan Turgeniev
5.    Nihilisme adalah suatu ancaman bagi Gereja dan Orang percaya karna dapat menggoyahkan iman orang percaya. Jadi kita harus lebih dekat dengan Tuhan.
6.    Nihiisme membuat manusia jauh dari Tuhan
DAFTAR RUJUKAN
O’collins Gerald dan G.Farrugin Edward. 1991. A Concise Dictionary of theology: Paulist Press. New Jersey.
Jacobs Tom. 2002. PAHAM ALLAH, Dalam Filsafat, agama – agama, dan Teologi : Kanisus Yogyakarta.52.
Lorens Bagus. 1996. Kamus Filsafat: PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 712-713.
Dagobert D.Runes. 1955. Treasury of Philosophy: Philosophical Library. New York. 861-866.
Santosa Akhmad. 2009. Nietzsche Sudah Mati: Kanisus. Yogyakarta.
Wibowo A.Setyo. 2004. Gaya Fisafat Nietzsche: Galang Press. Yogyakarta.
Sunardi ST. 1996. Nietzsche: LkiS Yogyakarta.
Wibowo A. Setyo, dkk. 2009. Para Pembunuh Tuhan: Kanisus. Yogyakarta.
Suseno Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan: Kanisus. Yogyakarta.
Hardiman F.Budi. 2007. Filsafat Modern: PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
ALKITAB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar